terjemahan

Terjemahan Tidak Resmi: “Orang Setengah Gila’ yang Menantang China

TERJEMAHAN TIDAK RESMI DAN BEBAS DARI ARTIKEL NEW YORK TIMES 8 JUNI 2018 HAK CIPTA ADA PADA PEMILIKNYA

PROFIL SABTU

‘Orang Setengah Gila’ yang Menantang China

Oleh Hannah Beech dan Muktita Suhartono

8 Juni 2018

PANGANDARAN, Indonesia — Susi Pudjiastuti sedang makan siang dengan satu tangan, memakai jempol dan dua jarinya untuk membuang tulang dari sepotong ikan. Dengan satu tangan lainnya, ia mencontohkan gerakan melumat sesuatu dengan hak sepatu tingginya ke tanah.

“Ini yang bisa saya lakukan jika pihak China mencoba mengelabui saya,” ujar Ibu Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan Indonesia. “Saya bisa tersenyum ramah lalu menggunakan hak sepatu tingginya.”

“Sekeras itu,” tambahnya, sembari memasukkan sepotong ikan ke dalam mulutnya.

Cukuplah dikatakan bahwa Nona Pudjiastuti bukanlah wanita Indonesia biasa, apalagi menteri kabinet biasa. Ia adalah perokok berat, meski menteri kesehatan Indonesia – satu dari delapan perempuan di dalam kabinet Presiden Joko Widodo — telah memperingatkannya bahwa tokoh publik tidak boleh terlihat merokok di depan umum.

Ibu Pudjiastuti suka minum kopi tubruk dan alkoholnya hanya dalam bentuk sampanye. “Keluarga saya bilang saya sedikit gila,” ujarnya.

Mungkin butuh sedikit gila untuk menantang Beijing, bertindak hingga menangkap kapal ikan China yang merambah dan mencuri di perairan Indonesia. Ia telah menciptakan banyak musuh selama ini, baik di tanah air maupun di luar negeri, namun ia mengatakan bahwa keberhasilannya hanya bisa diukur dari perbaikan di perairan ikan di Indonesia, dan ia tidak akan mundur melakukannya.

Ibu Pudjiastuti saat Pekan Mode Indonesia – Indonesian Fashion Week di Jakarta bulan Maret lalu. Ia memakai kebaya, blus tradisional yang dijahit sangat ketak sampai-sampai jahitannya robek saat ia duduk. Foto Milik Kemal Jufri untuk The New York Times

Dengan 13.000 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, namun kedaulatan kelautannya telah lama terabaikan. Saat ia ditunjuk (sebagai menteri) di tahun 2014, Ibu Pudjiastuti, seorang tokoh makanan laut dan penerbangan yang tidak pernah tamat SMA, mewarisi sebuah kementerian yang terancam dihapus. Namun ia telah mengubah portofolionya, menyatakan perang kepada kapal ikan asing yang telah merambah perairan teritorial Indonesia dan mengancam beberapa perairan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia.

Tidak semua pelaku perambahan laut ini berasal dari China. Termasuk di dalamnya adalah kapal-kapal yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara yang masuk perairan Indonesia, yang merugikan sumber daya negara sekurang-kurangnya $1 juta (dolar AS) setiap tahunnya, demikian laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ibu tidak mengandalkan pada cara yang baik-baik saja: Di bawah dukungannya, ratusan kapal asing yang disita telah diledakkan.

Namun kerumitan hubungan Ibu Pudjiastuti dengan pihak Chinalah yang telah menciptakan kehebohan terbesar yang juga membuatnya menjadi pahlawan yang tak terduga sebelumnya yang menuntut dunia internasional untuk menantang kebijakan luar negeri Beijing yang tegas.

Indonesia bukanlah satu pihak yang mengklaim wilayah yang dipersengketakan di Laut China Selatan, wilayah yang sekarang didarati pesawat pengebom di kepulauan-kepulauan kecil yang disengketakan. Namun sembilan garis putus-putus yang digunakan China pada peta untuk membatasi Laut China Selatan yang membentang luas yang dianggap miliknya ini bagaimana pun juga masuk ke perairan masuk menjadi kepulauan Indonesia.

Di situlah ikan — dan Ibu Pudjiastuti — hadir.

“Saya bukan orang militer, saya bukan menteri luar negeri”, ujarnya. “Pihak China tidak boleh marah pada saya karena saya hanya bicara tentang ikan.”

Ibu Pudjiastuti telah membuat dirinya terkenal, dan juga dikenali beberapa musuhnya, dengan menangkap kapal ikan ilegal dan meledakkannya. Foto Milik Kemal Jufri untuk The New York Times

Senyum yang lain, sesuap makan siang yang lain, kali ini dilumuri sambal yang dibuat dari sebagian cabai seberat 30 kg yang dibawa Ibu Pudjiastuti dari perjalanannya belum lama ini ke bagian timur Indonesia.

Pada bulan Juni 2016, sebuah kapal perang Indonesia menarik sebuah kapal ikan Cina yang tertangkap di dekat kepulauan Natuna, kepulauan Indonesia yang terletak di bagian paling selatan Laut China Selatan. Sebuah upaya sebelumnya di awal tahun untuk menarik kapal China gagal saat Kapal Penjaga Pantai China turut campur dan memutuskan tali penarik yang menghubungkan kapal yang disita ke kapal patroli Indonesia.

Kedua penangkapan ini terjadi di perairan yang berada jauh di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia sebagaimana yang didefinisikan oleh hukum perairan internasional. Namun Kementerian Luar Negeri China melakukan protes dan merujuk laut tersebut sebagai “perairan perikanan tradisional” milik China.

Ibu Pudjiastuti tidak terkesan. “Indonesia sudah sejak dulu berlayar sampai Madagaskar,” ujarnya. “Haruskah kami mengklaim seluruh Lautan Hindia sebagai ‘perairan perikanan tradisional Indonesia’?”

Sejak Ibu Pudjiastuti menjabat, sebagian besar dari 10.000 kapal ikan asing yang dulu merambah perairan Indonesia telah menghilang. Cadangan ikan naik hampir dua kali lipat dari tahun 2013 hingga 2017, menurut statistik pemerintah.

Ibu Susi Pudjiastuti
Ibu Pudjiastuti saat berkunjung ke salah satu proyek kementeriannya di Pangandaran. Tato burung phoenix di betis kanannya dikomentari oleh salah seorang tokoh membuatnya terlihat seperti seorang “preman.” Foto Milik Kemal Jufri untuk The New York Times

Namun awal tahun ini, wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, mengatakan semuanya harus diakhiri. Meledakkan kapal mungkin membuat Ibu Pudjiastuti menjadi orang yang paling disukai di menteri kabinet Indonesia, namun taktik kejut ini telah membuat takut investor asing. Kamar Dagang Indonesia mengamini keluhan wakil presiden ini.

Bahkan masyarakat perikanan Indonesia yang berkekuatan 2,4 juta pun tidak setuju dengan tindakannya ini, mereka memprotes upaya Ibu Pudjiastuti untuk menghambat kebiasaan yang populer namun merusak lingkungan seperti menangkap ikan yang menggunakan pukat harimau dan dinamit.

Menteri perikanan ini tidak bersikap simpatik. “Saat saya memulai bisnis makanan laut, ikannya besar-besar,” katanya, sembari melebarkan lengannya. “Lalu semuanya jadi kecil. Ikan-ikannya hilang, habis ditangkap, dan pemerintah tidak peduli.”

Selama sepuluh tahun sebelum ia mengambil alih, katanya, jumlah keluarga perikanan di Indonesia turun 45 persen.

Ibu Pudjiastuti, seorang perempuan yang benar-benar mandiri tidak akan mundur tanpa perlawanan. Ia lahir di kota perikanan di selatan pantai Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Ia tidak tamat SMA. Ia pernah menikah dan dikaruniai seorang anak. Lalu pernikahannya ia juga dikaruniai seorang anak. Lalu hubungan ketiganya ia pun dikaruniai seorang anak.

Ibu Susi Pudjiastuti
“Saya merasa damai saat berada di laut,” ujar Ibu Pudjiastuti, yang merupakan sorang paddleboarder atau dayung selancar air. Foto Milik Kemal Jufri untuk The New York Times

Ada satu malam saat ia minum-minum yang membuat dirinya memiliki tato burung phoenix di betis kanannya; tatonya tetap ada, meski orang yang menjadi ayah dari anak-anaknya tidak lagi bersamanya. (John Kerry, saat ia menjabat menteri luar negeri, pernah bercanda untuk pergi ke Indonesia jika Ibu Pudjiastuti bisa mengatur agar ia juga punya tato serupa.)

Ibu Pudjiastuti bertahan dengan mengemudikan truk yang mengangkut kodok dan sarang burung. Ia lalu pindah ke usaha makanan laut— lobster ke Jepang, udang galah ke Hong Kong — yang memodalinya untuk mendirikan sebuah perusahaan penerbangan yang memulai mengangkut berbagai hewan serupa udang dan kemudian meluas menjadi perusahaan pengangkut transportasi manusia.

Dewasa ini, Susi Air memiliki armada sebanyak 50 pesawat terbang kecil. Di tahun 2004 saat tsunami Samudera Hindia meluluhlantakkan Aceh di bagian barat Indonesia, yang menewaskan 170.000 jiwa, Ibu Pudjiastuti mengirim pesawat yang penuh dengan muatan bantuan kemanusiaan.

Sekarang ini banyak wanita Muslim di Indonesia yang melupakan kebaya, pakaian blus berenda, yang terbuka bagian atas dengan sarung yang merupakan pakaian nasional Indonesia, dengan pakaian yang longgar. Tapi Ibu Pudjiastuti tidak melakukannya. Pernah menjadi model dalam Pekan Busana Indonesia di awal tahun ini, ia memakai kebaya yang dijahit sangat ketat sampai-sampai jahitannya robek saat ia mencoba duduk. Pakaiannya itu berhasil dijahit, namun harus dibuka lagi saat ia harus pergi ke toilet. Setelah itu si penjahit kembali menjahit pakaiannya itu wuntuk yang ketiga kalinya.

Dalam ranah politik, ia tetap tokoh yang berada di sisi ekstrem. Fahri Hamzah, wakil juru bicara DPR Indonesia, mengatakan bahwa tato Ibu Pudjiastuti itu membuatnya seperti “seorang preman.”

Para pendukungnya telah menyarankan Ibu Pudjiastuti untuk naik sebagai calon wakil presiden Bapak Widodo, yang bersiap mencalonkan diri kembali untuk pemilihan umum tahun depan, meski ada peraturan yang membatasi bahwa jabatan presiden dan wakil presiden itu tidak boleh diisi oleh orang yang hanya berpendidikan SMA. Ibu Pudjiastuti enggan bicara banyak saat ditanya tentang kabar angin untuk memegang posisi wakil presiden.

Kapan saja ia bisa, ia selalu kembali ke laut. Awal tahun ini Ibu Pudjiastuti dan salah satu pembantunya, Nurmadia Heremba, berkunjung ke Pangandaran, kota yang dilingkupi hutan bakau, tempat ia dibesarkan. Hari itu adalah hari liburan akhir pekan, dan ia menghilangkan segala ketegangan dengan berselancar air dayung ke laut.

Arusnya kuat namun setelah mendayung susah payah selama 90 menit, Ibu Pudjiastuti bersantai di papan selancar dayungnya dengan sebatang rokok dan minuman panas. Matahari berwarna jingga tampak terbenam di Samudra Hindia. “Lupakan Jakarta,” kata Ibu Pudjiastuti. “Saya merasa damai saat berada di laut.”

Tinggalkan Balasan